PENDAHULUAN
Pola kehidupan konsumtif berkembang menjadi domain para produsen untuk menciptakan peluang-peluang ekspansi baru
bagi produk-produknya. Pangsa pasar terbanyak untuk produk-produk tertentu, semisal fashion, parfum,
jasa kecantikan sampai sekarang masih didominasi perempuan sebagai konsumen terbanyaknya.
Namun, pola kecenderungan merawat dan memperhatikan diri bukan lagi hanya milik perempuan;
pola pikir semacam itu telah bergeser pula pada pria. Peluang inilah yang sekarang ini mulai dilirik sebagian produsen
karena kecenderungan yang ada selama ini pasar pria belum tergarap
dengan baik. Menggarap pasar pria bukanlah sesuatu yang sia-sia
mengingat semakin banyaknya pria tampil dalam berbagai acara, misalnya sebagai DJ, VJ/presenter, pembicara di televisi,
model/artis, dan profesional lainnya yang membutuhkan penampilan yang baik ketika harus berhadapan dengan klien.
Fenomena lain yang muncul dan menjadi peluang bagi para produsen adalah kecenderungan eksekutif muda
untuk memanfaatkan waktu luang (leisure time) di luar rumah, seperti ke mal, music lounge, klub, salon dan spa.
Dahulu bagi pria urusan fashion dan perawatan tubuh bukanlah yang utama; bagi mereka cukup berpakaian rapi bersih.
Kini terdapat kecenderungan baru gaya. Merek fashion yang dulu khusus untuk kaum hawa seperti ‘Esprit’
sekarang mereka menjual produknya untuk pria, demikian juga dengan
‘Ovale’ pembersih muka yang memakai Ari Wibowo sebagai model iklannya.
Awal mulanya produk ini khusus perempuan dan sekarang pria pun memakainya.
Akibat dari gaya hidup yang berubah itu sekarang ini di pasaran membanjir produk kecantikan dan perawatan diri
berlabel “for men”. Pria menjadi lebih dekat dengan after shave lotion, pembersih wajah, pelembab muka,
wangi-wangian, pewarna rambut, sabun mandi, shampo, bedak tubuh, dan sebagainya.
Sejalan dengan itu, di pusat-pusat perbelanjaan saat ini jenis pakaian pria beserta asesorisnya semakin beragam
dengan warna-warna yang semakin variatif pula.
Bermunculannya kebutuhan akan produk tersebut bukanlah tanpa sengaja. Produsen melalui iklan-iklannya
dengan menggunakan ikon-ikon ternama yang ber-style dandy dan modis seperti Ferry Salim, Ari Wibowo,
dan model-model lainnya telah membuat sebuah terobosan baru dalam peta pemasaran produk
dengan menciptakan sebuah kebutuhan baru bagi kaum pria.
Gambar 1. Model dengan penampilan dandy pada produk fashion for men
(Sumber: Popular No. 160, Mei 2001).
METROSEKSUAL
Istilah metroseksual sekarang ini sering kita dengar dalam wacana umum komunikasi.
Kata metroseksual pertama kali dicetuskan oleh Mark Simpson di majalah salon edisi juli 2002.
Namun ada juga sumber lain yang menyebutkan istilah ini pertamakali dicetuskan oleh orang yang sama
di Koran Inggris ‘The Independent’ pada 1994. Bertolak dari dua sumber tersebut terdapat satu pengertian
bahwa metroseksual adalah sosok narcissistic3 dengan penampilan dandy (pesolek),
yang tidak jauh dari penampilan gaya dandan pria di media massa yang jatuh cinta tidak hanya terhadap diri sendiri,
tetapi juga gaya hidup metropolis. Belakangan ini pria metroseksual bukanlah pria yang hanya dandy
dalam penampilan namun juga tipe-tipe laki-laki berduit, dengan pola hidup bergerak menjangkau kota-kota metropolis
yang menyediakan segala hal yang terbaik seperti klub, spa, salon, butik, penata rambut, restoran, dan toko.
Kalau menilai dari penampilan luarnya orang mungkin mengira bahwa mereka adalah kalangan gay,
namun pria dalam kategori ini tidak harus serta-merta kalangan gay atau homoseksual
meskipun mereka tidak berpretensi macho; ini bukan sekedar urusan preferensi seksual.
Pria tersebut bisa saja straight-heteroseksual, namun menempatkan dirinya sendiri sebagai obyek cintanya sendiri.
Pria yang memperhatikan dirinya sendiri, atau bisa dikatakan mencintai dirinya sendiri, bukan merupakan wacana yang baru.
Sejak dulu pria juga selalu memperhatikan penampilan diri. Namun saat ini telah terjadi perubahan signifikan pertanda
makin kuatnya unsur venus dalam diri laki-laki. Chamim, et al menjelaskan gejala tersebut dengan memberi contoh
bahwa dulu di era 70-an para lelaki dilingkupi suasana serba maskulin dengan Charles Bronson sebagai men-idol-nya.
Pada dasawarsa 80-an kumis lebat mulai dicukur; meskipun idola masih bertahan pada sosok yang macho.
Satu dasawarsa berikutnya minat pria mulai bergeser pada perawatan wajah dan parfum dan terakhir
mereka mulai melirik perawatan kuku kaki-tangan (manicure-padicure) ditambah spa dan pijat refleksi.
Dan idola pun bergeser pada sosok yang kasual seperti Beckham, Ian Thorpe, Brad Pitt, dan sebagainya.
Ciri lain dari pria metroseksual adalah mereka sosok yang berani bereksperimen dengan fashion.
Gaya rambut Russel Crow dalam ‘Master and Commander’ seharga US$ 150 ribu.
Demikian juga dengan David Beckham dalam penampilannya selalu memakai pemoles kuku
dan mengundang penata rambut terbaik Inggris Aida Phelan untuk memastikan model rambut Mohican-nya agar tetap prima.
Pembeli stoking terbesar lewat internet 85% adalah pria dimana kadangkala mereka membeli dua model,
satu yang berukuran besar untuk dirinya sendiri dan yang berukuran kecil untuk pasangannya.
GAYA HIDUP POSMODERN
Gaya hidup adalah pola-pola tindakan yang membedakan antara satu orang dengan orang yang lainnya.
Pola-pola kehidupan ini kadang diartikan orang sebagai budaya; yang artinya keseluruhan gaya hidup
suatu masyarakat-kebiasaan/adat istiadat, sikap dan nilai-nilai mereka serta pemahaman yang sama
yang menyatukan mereka sebagai suatu kelompok masyarakat.
Gaya hidup lebih pada seperangkat praktik dan sikap yang masuk akal dalam konteks tertentu
atau cara-cara terpola dalam menginvestasikan aspek-aspek tertentu kehidupan sehari-hari
dengan nilai sosial atau simbolik; Tegasnya, gaya hidup adalah cara bermain dengan identitas.
Contohnya adalah merokok. Apabila dilihat berdasarkan hal-hal yang melekat dalam organisasi sosial
dari realitas-realitas lokal dan bukan dari sudut pandang patologis yang melihat ‘rokok’
sebagai hal yang menyimpang, merusak kesehatan dan mengganggu kepentingan umum
maka merokok dipandang sebagai unsur integral gaya hidup dalam organisasi peristiwa sosial
dan bisa pula ritual identitas sosial.
Adakah perbedaan signifikan antara cara hidup (way of life) dengan gaya hidup (lifestyle)?
Chaney menjelaskannya definisi gaya hidup dengan menggunakan tema pendekatan sosial: situs (site) dan strategi.
Dalam hal ini itus (site) bukan merupakan tempat-tempat yang dapat dikenali dalam suatu lingkungan fisik,
melainkan metaphor fisik bagi ruang-ruang yang dapat disediakan dan dikontrol oleh aktor (individu atau kelompok).
Dari sudut pandang strategi, gaya hidup dipahami sebagai cara-cara khas perjanjian sosial (social engagement)
atau narasi-narasi dari identitas dimana aktor (individu atau kelompok) dapat menyimpan metafor-metafor yang ada.
Dari dua pendekatan ini bisa diartikan pula bahwa gaya hidup adalah projek kreatif dan hal tersebut
adalah bentuk pendeklarasian yang memuat penilaian aktor-aktor dalammenggambarkan lingkungan.
Sementara itu, cara hidup (way of life) ditampilkan dengan ciri-ciri seperti norma, ritual, pola-pola tatanan sosial,
dialek atau cara berbicara yang khas.
Chaney menambahkan bahwa cara hidup pada bentuk-bentuk sosio-stuktural seperti pekerjaan, gender, lokalitas,
etnisitas dan umur pun bisa masuk dalam kategori ini dimana faktor-faktor tadi membentuk identifikasi baru gaya hidup
atau cara-cara berperilaku yang berkaitan dengan ekspektasi-ekspektasi konvensional yang kemudian membentuk pola-pola baru
pilihan melalui cara-cara pola cita rasa yang membentuk dan menyokong hierarki hak-hak istimewa dan status.
Savage, et al. dalam Chaney membuat klasifikasi gaya hidup bagi kelas menengah menjadi tiga: asketis, posmodern
dan awam (undistinctive). Ciri nyata yang pokok dari gaya hidup posmodern adalah kecenderungannya
melakukan perayaan-perayaan gaya hidup tertentu dan terjadi pengaburan pembedaan gaya konvensional
dimana ekstravagansa tingkat tinggi berlangsung terus bersama budaya tubuh; apresiasi terhadap opera
dan musik klasik bergandengan erat dengan kegandrungan akan disko dan balap mobil. Sehingga, menurut Savage,
jika para intelektual sektor publik pada saat modernitas dulu bertindak sebagai garda depan penghapusan posisi sosial
dengan pendekatan stilistiknya yang istimewa sekarang hal itu telah ditumbangkan oleh generasi berikutnya
dengan cara melampaui tatanan budaya modernitas.
Budaya tubuh atau budaya cita rasa yang merupakan ciri gaya hidup posmodern itu dapat diamati
dari sudut pandang penampakan luar (surfaces). Warna dan gaya rambut, cara berpakaian,
kendaraan yang dipakai atau makanan yang dikonsumsi dapat
mengidentifikasikan seseorang dengan suatu ikon budaya cita rasa
tertentu.
Chaney melihat bahwa penampakan benda-benda, penampakan luar kehidupan metropolitan yang gemerlapan,
petunjuk visual seperti citraan iklan (advertising imagery), berdirinya bangunan komersial dan publik,
carut marut aksesori jalan, sampah, dan ikonografi publik lainnya merupakan suatu tontonan visual (visual spectacle)
yang menghasilkan suatu citraan visual (visual imagery) yang menjadi prasyarat menentukan kehidupan sehari-hari
bagi budaya modernitas. Demikian pula citraan-citraan luar telah menjadi sumber daya dalam mengkomunikasikan
dan mengangkat makna, menata dan memanipulasi identitas sosial sehingga gaya hidup terartikulasi melalui perubahan
secara konstan tontonan dari penampilan-penampilan tampakan luar.
Baudrillard (dalamFeatherstone) melihat bahwa taraf produksi image
tersebut
telah membawa perubahan masyarakat secara kualitatif yang di dalamnya perbedaan antara realitas dan image menjadi kabur,
kehidupan sehari-hari mengalami estetisikasi. Ruang dan waktu merupakan
dunia simulasional atau dia sebut dengan budaya posmodern.
Dalam wacana ini fungsi periklanan telah bergeser dari penekanan rasionalitas terhadap kepuasan fungsional
menjadi penekanan atas keikutsertaan kemampuan audiens dalam menciptakan tampakan-tampakan luar
dari makna melalui manipulasi ikatan dan pemunculan yang pada akhirnya menjadi ciri yang konstan dari modernitas akhir.
Leiss et al. dalam Chaney mengajukan suatu rangkaian perkembangan periklanan selama abad 20.
Tahap awal iklan masih bersifat idolatry (produk-produk disajikan dalam nilai guna murni), kemudian iconology
(produk-produk diberi atribut-atribut simbolik), narsisisme (produk-produk diper- sonalisasi dan dinilai secara interpersonal)
dan perkembangan terakhir adalah totemisme (produk-produk ditampilkan sebagai suatu tanda/indikator bagi suatu kolektivitas
yang didefinisikan melalui penampilan dan aktivitasnya). Sejalan dengan itu, pengkomunikasian pesan iklan
dengan menggunakan penampakan luar menjadi dominan; konsumsi menjadi suatu fenomena tontonan.
Produk dikaitkan dengan citra yang menjadi perlambang dari kolektivitas sosial yang mengasosiasikannya dengan gaya hidup.
Dengan demikian Periklanan pun menjadi salah satu agen yang ikut memformulasikan kerangka-kerangka kultural gaya hidup citraan
yang terus menerpa kehidupan masyarakat. Seperti diungkapkan oleh Ibrahim dalam Chaney bahwa dalam era globalisasi
yang berperan besar dalam membentuk budaya citra (image culture) dan budaya cita rasa (taste culture) adalah gempuran iklan
yang menawarkan gaya visual yang kadang-kadang memesona dan memabukkan. Ujarnya pula, iklan merepresentasikan gaya hidup
dengan menanamkan secara halus (subtle) arti pentingnya citra diri untuk tampil di depan publik. Secara perlahan pula iklan
mempengaruhi pilihan cita rasa yang kita buat.17 Bahkan, tambahnya pula, Marshall Mcluhan, kritikus media terkemuka,
menyebut iklan sebagai karya seni terbesar abad-20 karena iklan dapat bertindak sebagai penentu kecenderungan, tren, mode,
dan pembentuk kesadaran manusia modern. Meskipun, tidak semua orang akan begitu mudah terpengaruh oleh bujuk rayu iklan
namun sedikit banyak iklan dapat menjadi saluran wacana (channel of discourse) mengenai konsumsi dan gaya hidup mutakhir.
METROSEKSUALITAS DALAM IKLAN SEBAGAI WACANA GAYA HIDUP POSMODERN
Tumbuhnya kecenderungan metroseksual di kehidupan masyarakat dilihat dari wacana budaya populer merupakan suatu cerminan
dari perubahan sosial yang diakibatkan oleh globalisasi ekonomi dan informasi yang melenyapkan batas-batas teritorial
misalnya negara, bangsa, kesukuan, kepercayaan, politik, dan budaya.
Luruhnya batasan-batasan ini juga berimbas secara signifikan pula
pada pola berpikir dan stereotip yang dibentuk oleh pola pemikiran modern tentang maskulinitas.
Seperti halnya Pria telah melampaui batas-batas gender dengan melakukan suatu ritual, dalam hal ini perawatan tubuh,
yang selama ini menjadi stereotip kaum hawa dalam konstruksi sosial pada umumnya. Pria menurut pandangan umum yang berlaku
adalah sosok jantan, kekar, untuk menggambarkan dominasinya akan kekuasaan dan kelebihannya dibandingkan perempuan.
Sosok yang semula dipandang yang kuat untuk melindungi telah bergeser menjadi lebih sensitif akan penampilannya.
Kertajaya menyebut ini sebagai WOMENvolution18 dimana urusan pria sekarang ini tidak hanya bekerja dan mencari uang
tetapi juga memperhatikan penampilannya dan bersikap emosional. Salah satu contohnya adalah David Beckham.
Meskipun profesinya adalah pemain sepak bola dia tidak lupa menjaga
penampilannya dengan memoleskan pewarna kuku pada jari-jari kakinya.
Akankah metroseksualitas hanya akan bertahan sebagai trend atau merupakan suatu bentuk evolusi sosial yang akan berkembang?
Kalau melihat perkembangan metroseksual bisa jadi bukanlah hanya trend sesaat saja. Media dan iklan yang terus mengekspos gaya
dan kehidupan selebritis seperti Beckham di atas serta produk-produk
berbau metroseksual menjadi umpan yang begitu menarik perhatian publik
dan terutama orang-orang berduit. Gaya hidup posmodern semakin menunjang hal itu dimana dalam masyarakat
yang semakin konsumtif tampilan permukaan dan gaya menjadi lebih penting. Seperti yang diungkapkan oleh Harvey
dalam Strinati bahwa “citraan mendominasi narasi” dimana masyarakat sering mengkonsumsi citra maupun tanda itu sendiri
dan bukannya substansi, isi dan maknanya/kegunaannya.
Masyarakat dipenuhi oleh citraan-citraan yang ditampilkan dalam iklan-iklan dimana produk- produk ditampilkan
sebagai suatu tanda/indikator bagi suatu kolektivitas yang didefinisikan melalui penampilan dan citraan.
Narsisisme sebagai titik tolak gaya hidup metroseksual seperti yang
diutarakan Simpson, mengadopsi nilai “cintraan mendomonasi narasi”
tersebut.
Seperti diutarakan Lasch (dalam Piliang) dimana narsisisme ini sebagai satu dimensi dan kondisi psikologis seseorang
dimana dia mengalami ketergantungan pada citraan diri dan ilusi yang
menyertainnya serta pengakuan akan hal tersebut dari masyarakat.
Kekuatan citra yang hadir dalam masyarakat konsumtif adalah hasilan dari – yang disebut Kundera – produsen ‘ideologi’
dan sekaligus pendefinisi kenyataan. Siapa saja itu? Kundera menyebutkan diantaranya biro iklan, manajer kampanye,
perancang mode, perekayasa peralatan gimnastik, penata rambut, bintang showbiz. Mereka inilah agen-agen penjual citra
yang mendiktekan idealitas kecantikan/ketampanan dan nilai-nilai
keindahan tubuh lewat televisi, film, iklan dan juga dalam dunia
olahraga.
Gaya hidup metroseksualitas yang hadir di tengah-tengah masyarakat dengan ideologi sosok narcissistic dengan penampilan dandy,
konsumtif, memanfaatkan leisure time-nya di klub, spa, salon, butik, penata rambut, restoran, dan toko ternama merupakan hasil
dari keahlian para produsen ‘ideologi ‘ tersebut dalam membangkitkan
kebutuhan akan estetisikasi penampilan dalam kehidupan sehari-hari
melalui bentuk-bentuk penawaran seperti iklan produk-produk kecantikan
yang melakukan penawaran keahliannya dalam perawatan rambut,
wajah, laser, blue peel, teta peel dan sebagainya yang tidak hanya ditawarkan kepada kaum wanita namun juga pria
sehingga kalau diperhatikan mulai banyak pria terkena imbas dari ‘wacana gaya hidup metroseksual’
yang dengan setia mengunjungi tempat- tempat spa dan beauty clinic yang terus merebak bak jamur di waktu hujan.
Gambar 2. Model Metroseksual dalam iklan jasa beauty & slimming clinic di Surabaya
Dengan demikian ideologi citraan dan tubuh menjadi begitu penting bagi kaum metroseksual dan hal itu
nampaknya sekarang telah merasuki kehidupan masyarakat dengan semakin menjamurnya produk-produk kebutuhan
bagi pria metroseksual dalam menjaga keindahan tubuh dan keselarasan diri sebagai perwujudan citraan diri dalam kehidupannya;
persis dengan idealitas kecantikan/ketampanan yang dipropagandakan iklan. Inilah metroseksual yang berdasarkan istilah Ibrahim
sebagai cerminan ‘antagonisme kultural’ yang paling naïf. Dalam nuansa masyarakat konsumtif dimana kaum metroseksual
berada di dalamnya, merasa ‘mati’ kalau tidak tampil dandy karena ideologi citraan mereka adalah survival of the fittest
dimana tampil gaya dan berbeda adalah karakter keharusan bagi seorang metroseksual.
Diferensiasi sebagai suatu proses membangun identitas melalui perbedaan produk, gaya dan gaya hidup nampak jelas
dalam iklan yang menampilkan pria-pria dandy (cantik-pesolek namun tetap gagah dan anggun).
Hal ini dalam bahasa estetik posmodern disebut dengan camp, suatu model estetisisme
(bukan dalam pengertian keindahan melainkan dalam pengertian keartifisialan dan stylization)
yang lebih menekankan pada dekorasi, permukaan sensual, dan gaya dengan mengorbankan isi,
anti identitas seksual, berlebihan, spesial, dan glamour.
Iklan tersebut telah membuka saluran wacana (channel of discourse) baru khususnya bagi kaum pria berduit
untuk memanfaatkan leisure time-nya melalui uang dan kekayaannya dengan memanjakan diri dan melepaskan diri
dari ‘ketersiksaan’ dan ‘kepenatan’ rutinitas sehari-hari plus tersematkannya identitas baru pada diri mereka dari masyarakat.
Hingga hal ini mungkin dapat menjadi contoh penjelas asumsi Zablocki dan Kanter (dalam Chaney)
yang mengatakan bahwa eksperimentasi gaya hidup berlangsung pada orang-orang yang peran ekonomi dan pekerjaannya
tidak lagi menghadirkan seperangkat nilai yang koheren dan bagi mereka
identitas dapat dimunculkan melalui realisme konsumsi daripada produksi.
Akibatnya adalah saat ini, saluran wacana itu terus bergeser dari
saluran wacana (channel of discourse) menjadi semacam saluran hasrat
(channel of desire) bagi kaum muda berduit untuk mendapatkan citraan diri dan pemaknaan hidup sebagai kaum metroseksual.
SIMPULAN
Mengutip pernyataan Adarno (dalam Ibrahim) bahwa iklan mengundang manusia untuk melihat satu karakter
dengan cara yang sama ia melihat dirinya, tanpa sadar bahwa sebenarnya telah terindoktrinasi.
Demikian juga trend gaya hidup metroseksual yang merambah kota-kota besar semakin menunjukkan pengaruhnya.
Awalnya yang adalah sekedar wacana kini telah merasuki dan menjadi trend kehidupan kelas menengah ke atas.
Iklan dengan bentuk penawarannya yang glamour telah menawarkan nilai-nilai simbolik tertentu,
didukung dengan globalisasi informasi dalam kehidupan manusia yang semakin konsumtif,
menyebabkan gaya hidup metroseksual menjadi tidak sekedar fenomena lagi namun telah menjadi suatu identitas sosial
yang membedakan si pemilik identitas tersebut dengan individu lainnya dalam kehidupan sosialnya.
Dalam hal ini, gaya hidup konsumtif telah melahirkan lagi satu bentukannya melalui produk-produk gaya berpenampilan
yang serba glamour dan eksperimental pada pria. Sebagaimana terbentuknya kelas sosial di masyarakat,
gaya hidup metroseksual pun ada kemungkinan akan menempatkan dirinya
pada struktur sosial masyarakat senyampang budaya konsumsi,
tubuh, dan citra masih melekat dalam benak dan relung hati manusia.
KEPUSTAKAAN
Chamim, Mardiyah, D.A. Candraningrum, Nurhayati, Telni Rusmitantri.
“Bertemu Pria- Pria Venus”, Tempo 01/XXXIII (30-7 Maret 2004), hal. 56.
Chaney, David. Lifestyles: Sebuah Pengantar Komprehensif. Yogyakarta: Jalasutra, 2004.
Ibrahim, Idi Subandy. Ekstasi Gaya Hidup: Kebudayaan Pop Dalam Masyarakat Komoditas Indonesia. Bandung: Mizan, 1997.
Kertajaya, Hermawan, Yuswohadi, Dewi madyani, Bembi Dwi Indrio. Marketing in Venus. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama, 2003.
Piliang, Yasraf Amir, Sebuah Dunia yang Dilipat. Bandung: Mizan, 1998.
Santoso, Benny. “Pria Metroseksual”, Get Life, Juni, 2004, hal. 39.
Strinati, Dominic. Popular Culture: Pengantar Menuju Teori Budaya Populer. Yogyakarta: Bentang Budaya, 1995.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar